Kamis, 15 September 2011

Siswa Melek Sanitasi, sebuah Harapan Perubahan

Apa yang Anda bayangkan jika anak-anak Indonesia tumbuh dalam keluarga yang tidak memiliki akses sanitasi layak? Pasti mereka mengalami kondisi yang kurang baik. Paling tidak, mereka memiliki kebiasaan buruk. Nah, kalau kebiasaan buruk ini terus berlangsung maka akan terinternalisasi dalam perilaku kehidupan mereka hingga dewasa. Tentu ini akan menyulitkan upaya untuk mempercepat pembangunan sanitasi di Indonesia. Saat ini, penduduk yang memiliki akses sanitasi layak baru mencapai 51,2 persen. Dengan jumlah itu, diperkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi layak. Maka menjadi penting, bagaimana menjadikan anak-anak ini sebagai obyek bagi penyadaran akan pentingnya sanitasi bagi kehidupan mereka dan keluarganya. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk itu adalah melalui sektor pendidikan. Mengapa? Persoalan sanitasi yang utama adalah perilaku. Dan anak adalah obyek yang mudah dibentuk melalui proses edukasi dan advokasi. Internalisasi perilaku yang baik terkait sanitasi akan menjadikan anak sebagai agen perubahan di keluarga dan masyarakat di sekitarnya secara signifikan. Bayangkan jumlah siswa di Indonesia lebih dari 32, 3 juta (http://nisn.jardiknas.org, Juli 2010), mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Kalau mereka semua melek terhadap sanitasi dan kemudian menjadi agen perubahan ke arah perilaku yang baik, hasilnya akan luar biasa. Tentu, semuanya butuh waktu. Mereka tidak bisa dididik secara instan. Ingat, bahwa perilaku menyangkut kebiasaan. Butuh penyadaran dan pembiasaan secara terus menerus khususnya di sekolah. Ini bukan pekerjaan mudah karena bagi mereka yang di rumah belum memiliki akses sanitasi yang baik, benturan akan terjadi. Di sinilah, perubahan perilaku anak memang mau tidak mau harus menyertakan para guru secara komprehensif. Guru tidak bisa sekadar mentransfer ‘ilmu sanitasi’ kepada anak didik melalui mata pelajaran dan membiasakan di sekolah, tapi guru pun seharusnya tahu bagaimana kondisi prasarana sanitasi para siswanya di rumah. Ini penting untuk mencari jalan bagaimana ‘menjaga’ pemahaman anak terhadap sanitasi agar tidak berubah manakala mereka menemukan sanitasi yang tidak layak di rumah mereka. Harapannya, merekalah yang mendorong keluarga mereka untuk membangun sanitasi yang layak. Memang ini bukan pekerjaan kecil. Ini adalah usaha besar dan berkesinambungan. Makanya, program penyadaran sanitasi di sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan anak didik yang melek sanitasi dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat. Kalau itu terjadi, 32,3 juta anak Indonesia bisa menjadi agen perubahan perilaku di tempat tinggal mereka, pasti sanitasi di Indonesia akan lebih baik. Dan yang terpenting, kualitas anak-anak pun akan meningkat. Inilah potensi besar yang perlu terus digali, menjadikan siswa sekolah sebagai duta sanitasi yang sebenarnya. MJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar